"~Bahagia Duluan atau Manembah Duluan~"
Kemarin baru ngobrol-ngobrol santai dengan rekan-rekan satu aliran.
Banyak topik yang dibahas, salah satunya adalah mana yang perlu diprioritaskan dalam hidup ini, bahagia duluan atau manembah
duluan.
Bahagia ini dalam artian kaya atau hampir sebagian besar apa yang diharapkan dalam hidup ini sudah
terpenuhi.
Seperti misalnya rumah, mobil, istri yang setia dan anak-anak yang sholeh dan
sebagainya.
Kalau manembah, yang dimaksudkan adalah dalam pengertian mendekatkan
diri kepada Allah, mempertinggi taqwa dan
meningkatkan kearifan sosial.
Mas Karjo, yang masuk kelompok Islam liberal, mengawali dengan berkata, “Kalau menurut saya manusia itu harus kaya dulu.
Harus bahagia dulu. Gimana mau manembah kalau masih mikir biaya
perawatan rumah tangga, biaya sekolah anak-anak, biaya mengelola ego dan biaya entertainment.
Pikiran harus tenang, baru dilanjutkan dengan meditasi dan kontemplasi. Omong
kosong kalau ada yang bilang harus manembah dulu. Itu hanya kembang
lambe, padahal dalam hatinya sih mengiyakan pendapat saya.”
Mas Sapto, yang dari tadi mulutnya komat-kamit, entah lagi makan permen atau lagi
wiridan, lalu menyahut,
“Boleh ngga saya
kasih komentar sekarang?”.
“Silahkan”, sahut saya.
Mas Sapto kemudian melanjutkan,
“Sebetulnya yang omong kosong itu ya yang bilang bahwa hidup ini harus diisi
dengan kebahagiaan dulu.
Kita dilahirkan ke dunia ini kan untuk mengabdi kepada Allah. Secara
kodrat manusiawi, kita ini memang harus manembah. Itu sudah takdir
manusia sejak dari lahir.
Kitab suci juga sudah mengatakan bahwa
carilah hal-hal yang berbau surgawi, dan setelah itu hal-hal yang berbau
duniawi akan muncul sebagai bonus.
Kalau kita mencari kebahagiaan dulu,
diragukan bahwa manusia tersebut masih ingat Tuhannya ketika sudah bahagia.
Oleh karena itu,
carilah hal-hal yang bertujuan untuk akhirat, dan setelah itu carilah
hal-hal keduniaan tetapi jangan terlalu mencintai hal duniawi
tersebut”.
Mas Karjo, yang merasa argumennya dipatahkan, langsung menjawab,
“Sik…sik… referensinya apa mas Sapto bahwa
secara kodrat manusia itu harus manembah?
Pasti dari Al-Qur’an kan?
Sayapun juga menggunakan referensi
yang sama. Tapi saya menggunakan
pemahaman yang berbeda.
Menurut saya, terlalu naif kalau mengatakan Tuhan menciptakan manusia hanya untuk manembah. Untuk apa Tuhan menciptakan
alam semesta yang sedemikian luasnya, lalu
ada sekumpulan manusia yang jumlahnya hanya sebesar tetesan air di laut, dan kemudian manusia ini disuruh manembah.
Apa artinya penyembahan yang sangat kecil itu.
Dalam hal ini, sampeyan tampaknya mengikuti pemahaman deisme, yang
menyatakan bahwa alam beserta seluruh isinya ini diciptakan oleh Tuhan, dan
setelah itu Tuhan hanya mengawasi, atau
sedikit campur tangan jika ada hal-hal yang ngga beres.
Kalau saya, lebih mengikuti pemahaman pantheisme yang menyatakan bahwa Tuhan itu adalah semuanya dan semuanya adalah Tuhan.
Berdasarkan konsep saya itu, ngga ada cerita bahwa manusia itu diciptakan hanya
untuk manembah. Bahwa manusia itu juga perlu “manembah”, dalam tanda
kutip, artinya manusia itu harus berbuat kebaikan dalam rangka membuat
dunia ini menjadi aman, damai dan tenteram. Tentu
ini yang diharapkan oleh Tuhan. Nah gimana kita bisa berbuat kebaikan kalau
sehari-hari sudah disibukkan dengan urusan pribadi yang ngga ada habis-habisnya. Sedangkan sebagian besar
urusan pribadi ini selalu berkaitan dengan
pencarian kebahagiaan.
Oleh karena itu,
menurut saya kebahagian harus didulukan sebelum manembah.
Mas Sapto kemudian menjawab,
“Argumen sampeyan bener mas. Tapi gimana kalau sebelum sampeyan
mencapai kebahagiaan yang diidamkan, terus keburu mati?
Lha kan jadinya rugi dobel-dobel, bahagia belum, manembah belum tapi udah keburu mati.”
“Hehe… bener juga logika sampeyan mas”,
jawab Mas Karjo,
“Tapi kalau saya ngikutin pemahaman sampeyan, saya ngga bisa maju seperti
orang-orang Barat itu. Kemajuan dalam bidang sains dan teknologi maksud saya, bukan kemajuan dalam industri pornografi.
Ekstrimnya, walaupun sedang menderita,
yang penting manembah dulu, cari kebahagiaan
belakangan saja. Saya yakin
manembah dengan cara ini tidak akan bisa khusyu. Hanya sekedar syarat saja. Jadi hasil akhirnya ya sama saja mas, bahagia
belum, manembah asal-asalan, dan akhirnya bisa keburu mati juga.”
Saya kemudian menengahi mereka dengan mengatakan,
“Ya sudah mas Karjo dan Mas Sapto, kita gunakan
pemahaman masingmasing, lalu kita jalankan saja. Nanti kita lihat mana yang hasilnya lebih baik.
Percuma kita debat masalah pemahaman yang ngga ada habisnya. Wong semua itu akhirnya ya mbalik ke persepsi dan imajinasi
masing-masing.
Ngga ada yang benar ngga ada yang salah. Buktikan sendiri, dan akhirnya
kita akan mendapatkan manfaat yang terbesar dari pengalaman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar